Rabu, 10 Maret 2010

Menanti Berkah Hutan Harapan

Restorasi Hutan Harapan terkendala pembalakan liar dan penjualan lahan oleh warga setempat. Proyek seabad ini digadang-gadang bisa mengembalikan ekosistem di areal seluas 102.000 hektare.

Jamali tak lagi bisa menebang kayu sembarangan. Lelaki 47 tahun itu harus mencuri kesempatan agar tidak kepergok petugas patroli hutan. Tak jarang apes menghampirinya. Ketika ia hendak menebang kayu bersama tiga rekannya, setahun silam, mereka berpapasan dengan sembilan patroli hutan.

“Mau ke mana kalian?” hardik seorang petugas patroli. “Mencari madu pak,” jawab Jamali gelagapan. Jawaban ini tak sepenuhnya bohong, karena pekerjaan harian Jamali memang mencari madu lebah hutan.

Untunglah, para petugas patroli percaya. Sebelum berlalu, petugas hutan ini mengingatkan agar Jamali tidak menebang hutan. Sebab wilayah tersebut telah menjadi areal PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI).

Jamali dan kawan-kawan bukanlah satu-satunya kelompok yang melakukan aksi kucing-kucingan dengan petugas. Di areal bekas hak pengusahaan hutan (HPH) PT Asialog yang berlokasi di Provinsi Jambi itu, ada 10 kelompok lain. Bahkan ada yang sampai mendirikan rumah di dalam kawasan hutan di Sei Rebo.

Dalam sepekan, mereka bisa menghasilkan 3 meter kubik meranti. Hasilnya diangkut dengan truk dan dijual seharga Rp 700.000 per meter kubik. Sedangkan lahan yang mereka tebas kemudian ditanami dengan padi, karet, atau sawit. Praktek seperti ini berlangsung sejak Asialog hengkang pada 2003.

Luas lahan bekas HPH Asialog di Provinsi Jambi mencapai 58.000 hektare, yang terletak di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun. Sejak tahun lalu, PT REKI mengantongi izin untuk merehabilitasi sekitar 50.000 hektare di lahan bekas Asialog. Nama kawasan itu berubah menjadi Hutan Harapan (Harapan Rainforest).

Areal Hutan Harapanm juga mencakup areal hutan produksi di kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, seluas 52.000 hektare. Sehingga total areal Hutan Harapan mencapai 102.000 hektare.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi, sekitar 7.000 hektare dalam areal Hutan Harapan sudah diperjualbelikan. Akibat pembalakan liar ini, hanya 30% areal Hutan Harapan yang masih dalam kondisi bagus. Lalu 30% berkondisi sedang dan 30% dalam keadaaan rusak. Sebanyak 10% lagi menjadi semak.

Sean Marron, Executive Head PT REKI menjelaskan, bahwa proyek Hutan Harapan digagas tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM), yaitu Bird Life International, Burung Indonesia, dan Royal Society for the Protection of Birds (RSPB). Mereka lalu bergabung mendirikan PT REKI. Selanjutnya REKI juga menggandeng Yayasan Konservasi Ekosistem Hutan Indonesia (KEHI).

Menurut pria kelahiran Inggris, 50 tahun silam itu, pihaknya memegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) restorasi ekosistem. Ini merupakaan izin baru yang setara dengan HPH dan hutan produksi Indonesia (HPI), dengan masa berlaku 100 tahun. Salah satu ketentuan wajib dalam izin ini adalah tidak melakukan penebangan untuk produksi sampai keseimbangan ekosistem tercapai.

Proyek yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia itu memang bertujuan memulihkan ekosistem hutan, termasuk menyelamatkan flora dan fauna yang hampir punah. Hutan di Jambi dan Sumatera Selatan terkenal kaya keanekaragaman hayati, tapi kondisinya sangat terancam.

Menurut hasil riset PT REKI, saat ini di areal Hutan Harapan ada 280 jenis burung, 37 jenis di antaranya terancam punah, dan 82 jenis mendekati terancam punah (misalnya bangau storm burung rangkong). Selain itu, terdapat mamalia langka, musang akar, harimau sumatera, gajah, tapir, dan napu. Di hutan ini hanya tersisa 10-20 ekor harimau sumatera dari total populasi 100-300 ekor.

Sedangkan pada kelompok vegetasi terdapat 3.000 jenis pohon. Termasuk spesies langka, pohon bulian, yang terkenal kuat dan hanya tumbuh di kawasan Hutan Harapan. Ada pula beberapa jenis meranti, seperti meranti putih, meranti merah, dan agarwood. “Untuk mengembalikan kawasan ini seperti semula, butuh butuh waktu 100 tahun,” kata Sean.

Terkait dengan pembalakan, perusakan, dan perambahan hutyan yang dilakukan masyarakat lokasl, Sean mengakui, bukan hal mudah mengatasinya. Maklum, REKI belum punya sistem terpadu cara penanganan masalah itu. Mereka hanya mengandalkan patroli petugas keamanan perusahaan bersama anggota kepolisian.

“Kami kan baru setahun. Lihat saja di Thailand, setelah 14 tahun melakukan penelitian secara intensif, baru bisa melakukan penanaman,” ujar Sean. Walau baru setahun, sederet program pemberdayaan masyarakat sudah berjalan di kawasan yang pernah dikunjungi Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris itu.

Misalnya merekrut 100 warga lokal sebagai karyawan hingga pelatihan pemakaian komputer, GPS, dan alat pemadam kebakaran. REKI pun membangun sarana komunikasi, bekerja sama dengan operator seluler Indosat dan membantu warga menjual hasil hutan non-kayu seperti rotan.

Untuk pelaksanaan proyek Hutan Harapan, REKI menyediakan dana US$ 16,2 juta untuk jangka waktu 20 tahun pertama. Perusahaan ini juga telah membayar iuran IUPHHK sebesar US$ 1 juta kepada pemerintah, meski belum memetik hasil hutan kayu.

Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban menyatakan bahwa restorasi Hutan Harapan menjadi contoh bagi daerah lain. ”Merestorasi tak hanya akan membantu menyelamatkan kawasan hutan, tapi juga menyerap emisi karbon. Diharapkan nantinya bisa dikomersialkan,” kata Kaban.

Senada dengan Kaban, Bupati Batanghari, Syahirsyah, menegaskan bahwa proyek itu bisa mengurangi pembalakan liar. “Kami sangat terbantu oleh upaya pelestarian ini,” katanya. Selama ini, mereka sulit memberantas pembalakan liar akibat kekurangan tenaga dan dana.

***

Meski mendapat dukungan dari berbagai pihak, aroma “kecemburuan” muncul dari enam LSM, yaitu Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah, Community Aliance Pulp and Paper Advocacy, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan, Yayasan Citra Bina Mandiri, Pinang Sebatang, dan Walhi Jambi. Mereka menyurati M.S. Kaban, meminta izin proyek restorasi ekosistem REKI dicabut.

Ada sederet alasan yang diajukan. Mulai tudingan bahwa REKI akan mengeksploitasi kayu pada kawasan hutan produksi yang masih produktif sampai pengambilan metan yang mereka sinyalir terdapat di Hutan Harapan. Mereka meminta agar areal hutan ini dijadikan hutan tanaman rakyat atau hutan tanaman industri (HTI).

Jika program restorasi ekosistem tetap dipertahankan, sebaiknya dilakukan di empat taman nasional di Provinsi Jambi yang kerusakan ekosistemnya masih memprihatinkan. Pendapat enam LSM itu ditentang LSM lain, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI.

Menurut Direktur Eksekutif KKI WARSI, Rakhmat Hidayat, model restorasi lebih pas dibandingkan dengan menjadikan lokasi Hutan Harapan sebagai taman nasional. “Kalau dijadikan taman nasional, masyarakat tidak bisa mengaksesnya. Restorasi adalah kerja nyata seperti konsep moratorium,” ujar Rakhmat. Ia juga tak setuju jika areal itu dialihfungsikan menjadi HTI karena ekosistemnya bisa punah.

Toh, Rakhmat tetap melontarkan kritik kepada PT REKI yang dinilai kurang bersosialisasi. Alhasil, banyak pihak punya prasangka buruk. REKI juga dianggap belum melibatkan masyarakat dan pemerintah setempat.

Rakhmat menyarankan, untuk mengatasi mengatasi pembalakan dan perambahan hutan, REKI perlu membuat kesepakatan pengelolaan sumber daya alam desa yang mencantumkan larangan menebang kayu. Namun masyarakat boleh memanfatkan hasil hutan non-kayu. “Kalau masyarakat diusir, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka akan kembali lagi,” kata Rakhmat.

Cara seperti ini telah diterapkan KKI WARSI di Desa Guguk, Kecamatan Sei Manau, Kabupaten Merangin, Jambi. Masyarakat desa merestorasi sendiri tanaman meranti serta menanam karet dan durian di hutan adat. Dengan cara ini, stok karbon yang tersimpan di bawah permukaan tanah sebanyak 261,25 ton per hektar. Sedangkan luas lahan yang dikelola warga Desa Guguk mencapai 690 hektar.

Jika mekanisme insentif penyerapan emisi karbon dijalankan, penduduk desa akan mendapatkan Rp 19 milyar pertahun.

dimuat di Majalah GATRA edisi 29 (28 Mei – 3 Juni 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar